The Demians part 25

demian n

Tittle : The Demians

Author : Ohmija

Cast : BTS and Seulgi Red Velvet, Irene Red Velvet, Kim Saeron and DIA Chaeyeon

Genre : Action, Romance, Comedy, Friendship

Taehyung membeku di belakang semua orang saat mereka satu-persatu menyalami Irene sebelum ia pergi. Kedua matanya hanya menatap lurus pada gadis itu, berharap ia mendengar semua hal yang ia simpan dalam hati.

Kebimbangan dan keraguan yang ia rasakan sejak beberapa hari kemarin membuat tenggorokannya terasa cekat, tak mampu mengeluarkan suara apapun. Jauh di dasar hatinya, ia ingin Irene tetap tinggal. Ia ingin Irene tetap berada disini. Hanya saja, dia tidak tau apa alasannya. Kenapa dia tidak ingin gadis itu pergi.

“Aku pergi dulu.” Irene tersenyum sambil melambaikan tangannya, untuk terakhir kalinya menatap satu-persatu wajah adik laki-lakinya.

Taehyung melihat wajah dan senyuman itu. Ada banyak kenangan yang telah tercipta. Tak banyak canda tawa melainkan pertengkaran dan tangisan. Namun juga ada banyak cerita yang telah terucap, rahasia yang telah terbongkar. Satu-persatu. Sepertinya takdir telah memutuskan untuk menunjukkan kenyataan hanya pada gadis itu.

Apakah itu alasan yang tepat untuk menahannya? Apa semua itu sudah cukup?

Irene kemudian berbalik, berjalan menghampiri orang tuanya yang sudah menunggu di bawah tangga eskalator.

“Hati-hati. Hubungi kami jika sudah sampai.” Suara Hoseok terdengar, membuyarkan lamunannya. Setelahnya ia menghela napas panjang dan bergumam, “Kenapa aku sedih sekali?”

Ini sudah waktunya. Dia akan pergi.

Tangan Taehyung mengepal kuat di samping tubuhnya. Detik berikutnya, tiba-tiba saja ia menyeruak dan berlari menghampiri Irene. Persetan dengan alasan yang tak juga ia temukan. Ia hanya ingin dia tetap tinggal.

Taehyung menahan lengan Irene yang sudah akan naik eskalator, membuatnya menoleh terkejut.

“Jika aku menahanmu sekarang, apa kau tidak akan pergi?”

Irene tertegun “Apa?”

“Jangan pergi.”serunya terengah.

“Kenapa?”

“Aku tidak tau. Aku hanya tidak ingin kau pergi.”

“Apa kau merasa terbebani karena yang lain berusaha menahanku dan menyalahkanmu? Atau karena kau merasa terbebani karena kau berjanji pada halmoni untuk menjagaku?”Belum sempat Taehyung menjawab, Irene menyela lebih dulu. “Sudah ku bilang kau tidak perlu merasa terbebani karena itu. Karena bagiku, itu tidak ada artinya. Jangan merasa bersalah.” Gadis itu tersenyum lebar lalu menepuk pundak Taehyung, “Aku pergi.”

Di belakang mereka, yang lain memperhatikan mereka berdua dengan bingung. “Apa yang sedang di lakukan Taehyung disana?”tanya Hoseok.

“Diamlah.” Yoongi memukul pundaknya pelan lalu merangkulnya.

Taehyung menelan ludah, “Apa aku harus mengatakan alasannya agar kau tetap tinggal?” Irene menghentikan langkahnya kembali dan menoleh ke belakang. “Alasannya bukan karena aku merasa terbebani janji yang telah ku buat dengan halmoni atau karena yang lain. Bukan karena itu. Alasannya terlalu banyak hingga aku tidak tau mana yang harus ku katakan padamu.”

Taehyung maju satu langkah ke depan, memperkecil jarak antara dirinya dan Irene. “Aku bukanlah seseorang yang bisa mengungkapkan perasaanku dengan baik. Tapi kau selalu bisa mengetahui apa yang sedang aku rasakan.”ucapnya pelan. “Saat aku tidak ingin seseorang mengetahui rahasiaku, kau selalu mengetahuinya. Aku memang kesal tapi di sisi lain kau juga membuatku lega. Kau membuat bebanku sedikit berkurang karena tanpa sadar kau telah membantuku menanggung beban itu.” Pria itu menelan ludah sambil mengacak rambutnya. “Aku tidak pernah menemukan seseorang yang bisa mengerti aku sebaik dirimu.”

Irene langsung menundukkan kepalanya, menyembunyikan wajahnya karena kedua matanya mulai di genangi air.

“Jangan pergi. Aku mohon.”

Irene mengangkat wajahnya dan menggeleng pelan, “Sudah terlambat. Aku harus pergi.”seru Irene dengan suara serak.

“Tidak.” Taehyung menggeleng. Pria itu lalu menghampiri orang tua Irene, menggenggam kedua tangan ibu Irene kuat-kuat. “Omoni, maukah omoni memberikanku kesempatan? Aku berjanji akan menjaganya disini.”

Orang tua Irene saling pandang bingung, “K-kau…”

“Aku berjanji, omoni, ahjussi. Walaupun kalian tidak mengenalku sebaik kalian mengenal yang lain, tapi aku bukanlah pria yang jahat. Aku sangat membutuhkannya sekarang.”

“Yeobo… bagaimana… ini…”

Ayah Irene menatap wajah memohon Taehyung selama beberapa saat, “Jika kau menyakiti anakku, aku akan—”

“Tidak akan. Aku berjanji.” Taehyung langsung menggeleng. “Aku pasti menjaganya dengan baik. Pasti.”

Ayah Irene akhirnya menghela napas panjang lalu merangkul pundak istrinya, “Ayo pergi, yeobo. Biarkan Irene berada di sini.”

Mendengar itu, kedua mata Irene sontak melebar, “Appa…”

“Lagipula tidak ada yang mengurus rumah sewa dan sepertinya anak-anak itu tidak ingin kau pergi. Tinggal lah disini lebih lama.”ucap ayah Irene bijak. “Jaga dirimu dengan baik dan jangan terlalu tenggelam dalam kesedihan. Appa yakin kau juga ingin tinggal.”

“Appa…” Irene berlari memeluk ayahnya sambil menangis.

Ayah Irene balas memeluk gadis itu sambil berbisik pelan, “Kau menyukainya, kan?” Irene mendongak, menatap ayahnya dalam keterperangahan. “Apa kau pikir appa tidak mengetahuinya? Semuanya terlihat jelas di wajahmu.” Pria itu menghusap kepala Irene lembut, “Tunjukkan padanya siapa sebenarnya Bae Irene. Tapi jika dia menyakitimu, cepat hubungi appa. Appa pasti datang dan menghajarnya.”

Irene tersenyum dan mengangguk, “Terima kasih, appa.”

***___***

Sesuatu pasti telah terjadi. Jika tidak, Jin tidak mungkin seberani ini membatalkan pertunangannya. Dia pasti mengetahui satu kelemahan nyonya Cheon dan menggunakan Seulgi sebagai tamengnya. Pria itu memang tidak menyukai ide tentang pernikahan itu, tapi dia tidak menyangka jika dia akan mengambil langkah berani seperti ini.

“Jimin.”panggil bibi Yang menghampiri Jimin. “Kenapa kau membiarkan nona muda makan dengan pria itu? Bukankah dia adalah tunangan nona Jung? Bagaimana jika nanti nona Jung marah? Mereka akan bertengkar lagi.”

“Aku juga tidak tau apa yang sudah terjadi, ahjumma. Aku akan ke kantor setelah ini.”

“Aku sangat khawatir. Perasaanku tidak enak.”

Jimin menoleh dan menepuk pundak bibi Yang pelan, “Jangan khawatir, ahjumma. Aku pasti akan menyelesaikannya.”

Pria itu lalu pergi ke dapur, menghampiri Seulgi dan Jin yang sedang makan bersama. Ia berdiri di dekat dinding, berjaga di sekitar Seulgi. Semakin kesal ketika melihat Jin tersenyum lebar dan berusaha mendekati Seulgi dengan rayuannya.

“Dasar brengsek.”umpat Jimin pelan.

“Kenapa kau tidak makan? Ahjumma itu bilang ini adalah makanan kesukaanmu.”

Seulgi yang sejak tadi merasa risih dengan kehadiran Jin yang tiba-tiba, menatapnya dengan tatapan sinis.

“Sebenarnya apa tujuanmu?”tanyanya dingin. “Kau pasti punya maksud lain, kan?”

“Sudah ku bilang aku hanya ingin berteman denganmu.” Jin tersenyum.

“Lalu kenapa kau membatalkan pertunangan?”

“Bukankah kau sendiri yang mengatakan jika aku tidak boleh berteman denganmu karena aku adalah tunangan saudara tirimu? Jadi aku membatalkannya.”

“Apa kau pikir aku sedang bercanda?”

“Apa kau pikir aku juga sedang bercanda, nona Kang? Aku juga serius.”

Seulgi menghela napas panjang, ia menarik punggungnya dari sandaran kursi dan menatap Jin lurus-lurus, “Tidak mungkin karena aku, kan? Kau pasti mem—”

“Bagaimana jika karena kau?”balas Jin cepat. “Bagaimana jika alasannya adalah karena aku telah jatuh cinta pada pandangan pertama padamu?”

Tidak hanya Seulgi, namun Jimin yang berdiri tak jauh dari sana ikut terkejut dengan pernyataan Jin barusan.

“Apa kau sudah gila?”

Jin tertawa melihat reaksi Seulgi barusan, “Nona Kang, kau bahkan tetap terlihat cantik saat kau terkejut. Mungkin itu adalah salah satu alasan kenapa aku menyukaimu.”

Jimin mengalihkan pandangannya kearah lain. Berusaha menormalkan ekspresi wajahnya saat ini. Jin benar-benar brengsek. Dia pasti memiliki maksud dan tujuan lain. Dia tidak mungkin benar-benar menyukai Seulgi, kan?

“Karena sepertinya kau sangat terkejut sekarang. Aku akan melakukan pendekatan padamu secara perlahan. Mungkin aku akan datang setiap hari kesini jadi kau harus membiasakan diri denganku.” Jin berdiri dari duduknya dan bergegas pergi. “Kalau begitu, aku permisi dulu nona Kang. Sampai jumpa besok.”

Begitu Jin meninggalkan rumah itu. Jimin langsung menghampiri Seulgi yang masih terlihat bingung atas sikap Jin yang terlalu blak-blakan.

“Jangan mendekatinya.”serunya tanpa basa-basi duduk di hadapan Seulgi. “Sudah ku bilang jangan percaya dengan ucapan orang lain.”

“Siapa yang mendekatinya? Kau lihat sendiri aku tidak melakukan apapun.”balas Seulgi sedikit kesal.

“Aku hanya memperingatkanmu karena kau mudah untuk di pengaruhi.”

“Aku juga memiliki pendirian. Aku tau mana yang salah dan mana yang benar.”

“Kau tidak tau.” Jimin menggeleng. “Kau tidak tau bagaimana sebenarnya kepribadiannya. Dia pasti memiliki maksud lain terhadap dirimu. Jangan mendekatinya!”

“Kenapa kau memarahiku?” balas Seulgi langsung berdiri dari duduknya. “Aku kan tidak melakukan apapun! Aku juga tidak mengatakan apapun!”

“Aku tidak memarahimu. Aku hanya—”

“Lalu kenapa kau menaikkan nada bicaramu?!”

“Aku hanya mencoba memperingatkanmu karena dia bilang dia menyukaimu.” Jimin menurunkan nada bicaranya, kali ini ia bicara dengan nada yang lebih lembut.

“Apa kau pikir aku akan menerima semua orang yang bilang jika mereka menyukaiku begitu? Apa kau pikir aku semudah itu?!”

“Seulgi, aku tidak bermaksud—”

“Kau sama saja dengan yang lain. Kau selalu meremehkanku.”

“Tidak. Aku…” Jimin mencoba meraih tangan Seulgi namun gadis itu langsung menepisnya.

“Aku tidak mau bicara denganmu lagi! Pergi!” Ia menghentakkan kakinya ke lantai lalu pergi ke kamarnya. Terdengar suara bantingan pintu dari atas membuat Jimin terduduk di kursi makan dengan helaan napas panjang. Ia mengacak rambutnya frustasi.

“Ada apa? Aku mendengar ribut-ribut. Kalian bertengkar?” bibi Yang datang dengan wajah panik.

Jimin kembali menghela napas panjang, “Tidak apa-apa, ahjumma.”

Ia lalu mengeluarkan ponselnya dan menyalakan benda kecil itu. Terdengar bunyi berderet yang menandakan jika ada banyak pesan yang masuk. Seluruhnya dari Chaeyeon. Jimin membuka tumpukan pesan itu dan membaca pesan yang berada di paling atas.

Bunuh mereka.

Melihat bagaimana keruhnya wajah Jimin setelah membaca pesan itu, kekhawatiran bibi Yang semakin menjadi-jadi. “Busan, ada apa?”

“Ahjumma, aku akan menghubungi Sukhwan dan menyuruhnya untuk berjaga di tempat ini. Sekarang aku harus pergi.”

“Ya! Park Jimin!”

***___***

“Apa menahan kepergian seseorang membutuhkan drama terlebih dahulu? Aah, dasar menyebalkan.”decak Yoongi geleng-geleng kepala saat Taehyung dan Irene kembali menghampiri mereka.

“Aku tidak perduli. Yang penting Irene noona tidak jadi kembali ke China.”sahut Hoseok mengambil alih barang-barang yang ada di tangan Irene.

Irene terkekeh, “Maafkan aku. Tapi terima kasih karena telah mengantarku kesini.”

Jungkook dan Saeron sama-sama tersenyum geli. Taehyung memang harus di dorong sangat kuat lebih dulu.

“Lalu apa sekarang kalian sudah resmi?”tanya Namjoon dengan senyuman menggodanya.

Irene melirik Taehyung penuh harap sementara Taehyung langsung melirik kesal kearah Namjoon, “Apa maksud hyung? Resmi apa?”

“Hubungan kalian.”

“Aku hanya memintanya untuk tidak pergi. Hubungan kami tetap seperti dulu.”dengusnya. Ia lalu memberikan tas milik Irene yang di bawanya pada sang pemilik. “Cepat pulang. Kita harus membuka cafe.”

“Ya! Bukankah kau berjanji pada ayahku kau akan memperlakukanku dengan baik?”protes Irene.

“Aku akan memperlakukanmu dengan baik mulai besok. Bukan hari ini.”elak Taehyung lalu berjalan mendahului yang lain.

“Dia tetap saja brengsek.”cibir Irene kesal.

Yang lain hanya tertawa, “Sekarang ayo kita pulang.”

“Ahgassi.” Suara tuan Jeon menghentikan langkah mereka yang sudah akan pergi. Semuanya menoleh ke belakang saat tuan Jeon mengarahkan tatapannya lurus pada Saeron. “Kita perlu bicara. Yang lain, kalian boleh pulang.”

“Huh?” Saeron berseru sedikit kaget.

“Sonsengnim, kita tidak pulang bersama-sama?”tanya Yoongi.

“Ada yang harus aku bicarakan dengannya. Kalian pulang lah dulu.”

“Baiklah kalau begitu.” Yoongi dan yang lain berbalik meninggalkan mereka.

Hoseok merangkul pundak Yoongi dan berbisik, “Ini pasti tentang hubungan mereka, kan? Apa sonsengnim akan menginterogasinya?”

Yoongi memukul kepala pria itu dan berdecak, “Jangan urusi mereka. Ayo pulang.”

Sementara Namjoon beberapa kali menoleh ke belakang dengan tatapan khawatir. Langkahnya terasa berat saat ia meninggalkan tempat itu. Mungkinkah tuan Jeon akan melarang hubungan mereka?

“Aku minta maaf karena aku belum memperkenalkan diriku dengan baik.” Saeron membungkukkan tubuhnya sopan. “Annyeonghaseo ahjussi. Aku adalah Park Saeron.”

“Appa dia adalah kekasihku. Bukankah appa sudah bertemu dengannya waktu itu?”

Ekspresi wajah tuan Jeon masih terlihat kaku tanpa senyum, “Bukankah kau tidak tertarik dengan anakku? Kenapa kau setuju untuk berkencan dengannya?”

Saeron memutar bola matanya sedikit gugup, “Aku…”

“Itu karena aku terus berusaha untuk meyakinkannya jadi—”

“Diam.”seru tuan Jeon tegas membuat Jungkook terkejut.

“Appa, ada apa? Kenapa appa terlihat marah?”

“Aku tidak akan menyetujui hubungan ini jadi berpisahlah.” Jungkook dan Saeron sontak membulatkan mata mereka. “Kau tau dia tidak akan bisa melepaskanmu jadi kau yang lebih dulu melepaskannya.”

“Appa, apa yang sedang appa katakan? Kenapa kami harus berpisah?”

Tuan Jeon lalu meninggalkan keduanya tanpa penjelasan apapun. Jungkook berpikir untuk mengejarnya namun Saeron juga ada disana bersamanya. Ia mengacak rambutnya frustasi. Tidak mengerti apa yang baru saja di lakukan oleh ayahnya. Bukankah sebelumnya dia terlihat jika dia menyukai Saeron? Dia juga mendukung hubungan itu. Tapi kenapa sekarang tiba-tiba berubah?

“Jangan dengarkan ayahku. Ayahku pasti sedang mabuk.” Jungkook mencekal kedua lengan Saeron, berusaha menenangkannya.

Saeron mengangkat wajahnya perlahan, “Apa aku sudah melakukan sesuatu yang salah?”

“Tidak. Kau tidak melakukan apapun. Jangan khawatir. Ini pasti hanya salah paham. Aku akan mencoba menjelaskan pada ayahku nanti.”

***___***

Jimin mendatangi sebuah bar mewah di kawasan Gangnam dan menemukan Chaeyeon disana. Gadis itu duduk di salah satu kursi dan terlihat sangat depresi.

“Kau mabuk?” Ia menghampiri Chaeyeon dan mencekal lengannya.

Chaeyeon menepis cekalan tangan Jimin kasar, “Pergi.”

“Kita harus segera pergi. Jika seseorang melihatmu, mereka akan—”

“Apa ini waktu yang tepat untuk mengkhawatirkan itu?”balas Chaeyeon menoleh menatap Jimin. “Semua orang bersikap baik padaku hanya karena ibuku adalah istri dari tuan Kang. Tapi di belakangku, mereka memakiku dan menganggapku bukan siapa-siapa. Sama sepertimu.” Jimin hanya menatapnya sambil menghela napas panjang. “Kau pasti sudah tau jika pertunanganku sudah di batalkan, kan? Jin memintanya pada ibuku langsung dan ibuku menyetujuinya. Haha brengsek.” Gadis itu menuangkan minuman kembali ke dalam gelasnya lalu meneguknya. “Kenapa selalu dia yang mendapatkan semuanya? Gelar, kekayaan, dan Jin. Kenapa dia mendapatkan semua itu sementara aku tidak? Oh ya, dia juga mendapatkanmu.” Chaeyeon meletakkan gelasnya ke atas meja lalu menatap Jimin dengan tangan bertopang dagu. “Kau bahkan mengabaikanku dan memilih untuk bersamanya. Apa kau lupa dengan tujuanmu yang sebenarnya? Apa kau sudah jatuh cinta?”

Jimin terdiam selama beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan itu, “Kau sudah mabuk. Aku akan mengantarmu pulang.”

Chaeyeon kembali menepis tangan Jimin, “Dia harus mati sebelum berumur 21 tahun. Apa kau lupa?!” Gadis itu menekankan kalimatnya agar Jimin tersadar. “Kau sudah tidak bisa kembali karena kau sudah bersumpah dan sumpah itu juga sudah ada di tubuhmu. Kau lupa jika kau sudah melakukannya waktu itu?”seru Chaeyeon. “Jangan jatuh cinta padanya. Karena biar bagaimanapun kau akan tetap berada di pihak ibuku. Kau dan dia tidak akan bisa bersama.” Sebuah seringaian lalu tercipta di wajah Chaeyeon. “Dan sekarang, sepertinya tidak hanya satu orang yang akan mati. Tapi dua… Kau harus membunuh mereka.”

***___***

Mereka kembali ke cafe setelah mengantar Irene kembali ke rumahnya. Terkejut saat mendapati Taehyung sudah berada di sana sedang membersihkan etalase.

“Ya! Kau tidak pergi ke rumah Irene noona?”tanya Hoseok.

“Kenapa aku harus datang kesana?”balas Taehyung dengan nada tak acuh.

“Dasar pria ini…” Hoseok mencemooh. “Tadi kau bersikap seolah-olah kau tidak ingin dia pergi dan sekarang kau besikap seolah-olah kau tidak memperdulikannya. Kenapa manusia cepat sekali berubah? Jika aku adalah wanita, kau pasti menjadi tipe pria nomor satu yang paling ku benci.”

“Kenapa hyung membelanya? Aku menghentikannya karena hyung terus terlihat sedih. Aku melakukannya karena hyung!” Taehyung tak terima.

“Yah, baiklah. Teruslah mengelak.” Hoseok masuk ke dalam untuk mengganti baju.

Taehyung segera mengejarnya untuk meluruskan kesalahpahaman itu, “Hyung, aku sungguh-sungguh!”

“Mereka benar-benar menyebalkan.” Yoongi menatap keduanya sambil geleng-geleng kepala. Kemudian ia mengalihkan pandangannya pada Namjoon yang terus diam sejak tadi. “Kau kenapa?”

Namjoon tersadar, “Huh? Tidak. Kita harus segera membersihkan tempat ini sebelum pengunjung datang hyung.” Ia mengalihkan pembicaraan.

Yoongi mengangguk, mulai mengepel lantai, “Menurutmu apa yang akan di katakan oleh sonsengnim?”

“Tentang apa?”

“Tentang hubungan Jungkook dan gadis itu. Mungkinkah dia menentangnya? Ku lihat raut wajahnya tadi sepertinya dia tidak menyukainya. Tapi bukankah sonsengnim bukan tipe orang yang memusingkan hal-hal seperti itu?”

“Hyung benar…” Namjoon menjawab seadanya.

Yoongi menghela napas panjang dan berdecak, “Jungkook bahkan sudah mendapatkan kekasih sementara aku terlalu sibuk bekerja disini. Menyedihkan sekali.”

***___***

“Aku akan menjelaskannya pada appa. Berhentilah mengkhawatirkan hal itu.” Jungkook terus meyakinkan Saeron sejak tadi.

“Aku tidak mengkhawatirkannya.”elak Saeron dengan wajah muram.

“Lalu kenapa kau terus diam sejak tadi?”

“Aku hanya lelah.”

“Jangan berbohong.” Ketika sebuah pikiran buruk terlintas di kepala Jungkook. Anak laki-laki itu langsung mencekal kedua bahu Saeron. “Kau tidak berpikiran untuk memutuskanku, kan? Kau tidak akan meninggalkanku karena ini, kan?”

“Kenapa kau berpikiran seperti itu?” Saeron menepis tangan Jungkook dan melanjutkan langkah. Jungkook menghentikannya lagi.

“Jangan coba-coba meninggalkanku walaupun ayahku yang menyuruhmu. Sudah ku bilang dia pasti sedang mabuk jadi dia mengatakan hal-hal aneh. Jangan pernah, oke?”

“Tsk, berhenti bicara omong kosong.”

“Bertengkarlah di rumah kalian. Jangan bertengkar di depan rumah orang lain.” Sebuah suara tiba-tiba terdengar. Jungkook dan Saeron menoleh bersamaan. Irene menatap keduanya dari terasnya sambil geleng-geleng kepala. “Kenapa kalian bertengkar, huh?”

“Kami tidak bertengkar.”elak Jungkook sambil merangkul pundak Saeron.

Irene langsung mendengus, “Jangan bermesraan di depanku!”

“Kalau begitu cepat pergi dan ungkapkan perasaan noona pada Taehyung hyung.”

“Ya! Aku tidak punya perasaan apapun padanya!”

“Apa noona masih mau mengelak?”

Mulut Irene sudah terbuka, ingin membalas omongan Jungkook namun ia tau ia sudah kalah telak. Ia merapatkan bibirnya dan memandang kearah lain.

Saeron dan Jungkook terkekeh geli, “Fighting unnie!”

“Hentikan. Kalian membuatku malu.”

Jungkook hanya mencibir, “Tsk, dia benar-benar…”

“Saeronnie.”

Saeron menoleh kearah gerbang dan langsung terkejut melihat Seulgi sudah berdiri disana. Ia menghampiri gadis itu, “Unnie? Kenapa unnie bisa ada disini? Dimana Jimin oppa?”

Wajah Seulgi terlihat kesal saat mendengar nama Jimin, “Aku membencinya.”

Saeron masih terlihat bingung dengan kedatangan Seulgi yang tiba-tiba bahkan gadis itu datang tanpa Jimin. “Ayo kita bicara di atas, unnie.”

***___***

Jimin pergi ke taman yang berada di atas bukit tak jauh dari rumahnya setelah ia tak bisa menemui nyonya Cheon karena beliau memiliki rapat penting antar pemegang saham. Pikirannya kacau, dia tidak bisa berpikir dengan baik saat ini .

Jimin mengacak rambutnya lalu pandangannya jatuh pada kaleng minuman soda yang di belinya. Chaeyeon menyadarkannya jika dia tidak mungkin bisa berharap. Tempatnya tidak akan berubah, dia hanya seorang kaki tangan.

Tapi perasaan yang tidak terkendali ini membuatnya menderita. Harus ia akui jika jantungnya terus berdetak kencang setiap kali ia berada di dekat Seulgi. Seberapa kerasnya ia mengelak, seberapa kerasnya ia menghindar, tapi perasaan itu tetap di rasakannya. Dia bahagia.

Seorang gadis yang harus dia bunuh sebelum dia berusia 21 tahun. Seorang gadis yang harus dia tipu. Ini sangat menyakitkan karena dia juga menjadi seorang gadis yang telah mengisi sebagian hatinya yang kosong.

Kehadiran seseorang membuat Jimin langsung menoleh. Pria itu duduk di samping Jimin dengan tatapan yang mengarah pada pemandangan yang ada di depan mereka.

“Punggungmu terlihat membungkuk dari belakang. Dan kau sedang lengah.”serunya pelan.

Rahang Jimin menegang, “Kenapa kau ada disini?”

“Bahkan ketika kau menginginkan semuanya berubah. Aku tetap bisa menemukanmu ketika kita sedang bermain petak umpet.”Pria yang ternyata adalah Taehyung itu menoleh balas menatap Jimin. “Tapi kali ini bedanya kita tidak sedang bermain petak umpet dan aku tidak sedang mencarimu…” Taehyung menghentikan ucapannya sejenak. “Aku hanya menemukanmu.”

Jimin tertegun. Ucapan Taehyung menariknya paksa ke masa lalu. Pada ikatan persahabatan dan kebahagiaan itu. Taehyung seperti memiliki naluri untuk menemukan Jimin. Dan keduanya selalu di takdirkan untuk bertemu lagi walaupun berkali-kali mereka terpisah.

Jimin mengalihkan pandangannya ke depan, “Aku rasa aku harus mencari tempat lain karena seseorang sudah menemukan tempat ini.”

“Kau tidak perlu menghindar karena aku tidak akan datang kesini untuk mencarimu.” Ia tersenyum kecut. “Apapun yang terjadi.”

Jimin hanya diam. Ia tidak menemukan topik pembicaraan yang tepat namun juga tidak ingin mengusirnya pergi. Ini pertama kalinya setelah sekian lama. Akhirnya mereka duduk berdampingan seperti ini. Hatinya terasa hangat. Dia seperti telah menemukan sesuatu yang hilang.

Kerinduan itu tidak bisa di pungkiri. Sejujurnya dia merasa sangat senang dengan perubahan Taehyung saat ini. Dia terlihat lebih baik dan lebih bahagia. Sepertinya dia menemukan orang-orang yang tepat berada di sekelilingnya.

“Sepertinya kau sangat senang dengan pekerjaan barumu.” Jimin melirik pada plastik belanjaan yang di bawa Taehyung. “Kau tidak perlu menggunakan kekuatan lagi.”

“Kau benar.” Taehyung mengangguk. “Semuanya sudah berubah. Aku tidak perlu lagi bersaing untuk mendapatkan posisi kapten. Aku tidak perlu memegang senjata dan mendengar suara ledakan dimana-mana.”

Keduanya lalu terdiam. Canggung.

“Jimin-ah…” Sudah lama dia tidak memanggilnya dengan sebutan itu. Dan sudah lama Jimin tidak mendengar Taehyung memanggilnya dengan nama itu. “Apa kau tidak merasa bersalah padaku?”tanyanya pelan. Kesedihan terdengar jelas di balik pertanyaannya itu. “Saat aku berada dalam waktu dimana aku sangat membutuhkanmu, kau justru pergi meninggalkanku.”

Jimin menelan ludah susah payah. “Kenapa kau berharap aku akan terus berada di sisimu? Apa kau lupa jika di dalam dunia itu, tidak ada yang namanya persahabatan. Saat kau berada dalam kondisi kritis, kau harus menyelamatkan dirimu sendiri. Aku melakukan sesuatu yang aku pelajari. Aku harus menyelamatkan diriku.”

“Benarkah?”

Jimin kembali menelan ludah pahit. Sebisa mungkin menahan gejolak di dadanya, “Aku tidak mengerti kenapa kita harus duduk disini dan bersikap seolah-olah kita adalah seorang teman. Hubungan seperti itu sudah tidak ada lagi.” Jimin berdiri dari duduknya dan meninggalkan Taehyung.

Taehyung memejamkan kedua matanya. Melihat dirinya dan Jimin di sama lalu.

“Kau pasti mencurinya, kan?! Apa kau tau hukumannya jika kau mencuri sesuatu?!” Pria itu terus memukuli punggung Taehyung dengan kayu rotan.

Taehyung meringis, menahan rasa pedih pukulan itu. “Aku tidak mencurinya, appa. Sungguh.”

“Kau masih tidak mau mengaku?!” Pria itu sudah mengangkat tangannya, akan kembali memukul Taehyung.

“Ahjussi!” Namun tiba-tiba Jimin datang. Ia terengah-engah berlari ke tempat itu. “Taehyung tidak mencurinya. Sejak pagi dia berlatih bersamaku. Dia memang mengatakan jika roti itu sepertinya enak tapi dia bukan pencurinya. Aku berani bersumpah.”

“Kau mau melindungi anak ini?”

“Aku tidak melindunginya tapi itu adalah kenyataannya. Taehyung bersamaku sejak tadi pagi.”

20 menit kemudian…

“Apa punggungku berdarah? Rasanya sakit sekali.” Jimin menunjukkan punggungnya pada Taehyung sambil meringis.

Taehyung menatap sahabatnya itu hampir menangis, “Kenapa kau berbohong? Kau jadi di pukuli juga karena aku.”

“Huh?”

“Kita tidak berlatih bersama tadi pagi. Kenapa kau berbohong?”

“Ya! Karena aku tau kau tidak mencurinya.”

“Kenapa? Bahkan ayahku tidak mempercayaiku.”

“Tsk, di bandingkan dengan ayahmu, kau lebih banyak menghabiskan waktu bersamaku. Aku sudah sangat mengenalmu dengan baik jadi aku langsung tau tanpa kau memberitahuku.”

Taehyung menundukkan kepalanya, kesepuluh jarinya saling bertaut, “Aku tidak mencurinya.”

“Aku tau. Tadi kan sudah… ya! Kau menangis?” Jimin langsung memeriksa keadaan sahabatnya itu karena ia mendengar isakan tangis. “Kim Taehyung ada apa? Kenapa kau menangis? Punggungmu sakit? Kau terluka?”

Taehyung mengangkat wajahnya menatap Jimin dengan wajah yang sudah basah, ia berseru putus-putus, “Mulai sekarang aku tidak perduli dengan apapun selama kau mempercayaiku. Aku hanya memilikimu, Jimin-ah.”

Jimin menghela napas panjang, menatap sahabatnya itu sedikit terharu. Taehyung tidak memiliki keluarga yang harmonis. Ayahnya selalu memukulinya sementara ibunya selalu berpihak pada ayahnya walaupun habis di pukuli berkali-kali. Dia tumbuh tanpa kasih sayang sehingga terkadang dia akan pergi ke rumah Jimin untuk makan bersama orang tuanya. Dia juga memperlakukan orang tua Jimin seperti orang tuanya sendiri.

“Jangan menangis lagi. Kau bahkan tidak menangis saat kau menjalani operasi waktu itu. Kenapa sekarang kau menangis? Jangan menangis, Taehyung-ah.”

Taehyung membuka matanya dan merasakan rasa sakit di dadanya. Dia kembali pada kenyataan dimana semuanya tidak seperti yang ia harapkan. Dia kehilangan orang tua, cinta pertamanya dan sahabatnya. Entah kesalahan apa yang telah dia lakukan di masa lalu. Tiba-tiba saja semua orang meninggalkannya.

“Aku hanya ingin mendengar kau mengatakan jika kau mempercayaiku, Jimin-ah. Hanya itu.”

***___***

Saeron menyuruh Seulgi duduk di atas dipan lalu duduk di sampingnya. Jungkook yang tidak mengenal gadis itu, hanya mengekori Saeron dan duduk di paling ujung.

“Kenapa kau tidak kembali ke rumahmu?”bisik Saeron terganggu karena Jungkook terus mengikutinya.

“Siapa dia?”

“Oh ya, unnie perkenalkan dia adalah Jeon Jungkook. Dia…”

Jungkook langsung berdiri dan membungkukkan tubuhnya sopan, “Annyeonghaseo noona-nim. Namaku Jeon Jungkook. Aku adalah kekasih Saeron sekaligus teman sekelasnya sekaligus tetangganya.”

“Ya! Apa yang sedang kau lakukan?” Saeron menarik Jungkook untuk duduk kembali lalu tersenyum pada Seulgi. “Jangan dengarkan dia, unnie. Terkadang dia bicara tanpa berpikir.”

“Aku memang kekasihmu.”seru Jungkook.

“Jadi kau sudah punya kekasih?” Seulgi tersenyum geli melihat pertengkaran keduanya. Saeron hanya tersenyum malu. “Manis sekali.”

Berbeda dengan Saeron, Jungkook justru tersenyum senang, “Lalu noona?”

“Aku adalah Seulgi. Aku teman Jimin.”

“Teman atau kekasih?”goda Jungkook.

Seulgi menggeleng sambil mengibaskan kedua tangannya, “Hanya teman.”

“Aku pikir tidak ada orang yang mau berteman dengan Jimin hyung. Ternyata dia punya teman dan bahkan seorang gadis.”

Saeron menyikut perut Jungkook kesal, “Apa yang sedang kau katakan tentang kakakku?” Ia lalu mengembalikan tatapannya pada Seulgi, “Lalu kenapa unnie pergi meninggalkan rumah tanpa Jimin oppa? Kalian bertengkar?”

Wajah Seulgi langsung berubah cemberut, “Aku hanya kesal dengannya. Dia—”

Tiba-tiba suara derap langkah seseorang yang menaiki anak-anak tangga dengan terburu-buru terdengar. Dalam waktu beberapa detik, pria itu muncul dan langsung menghampiri Seulgi.

“Seulgi!”serunya dengan napas terengah. “Aku mencarimu. Ahjumma bilang kau meninggalkan rumah.”

“Bagaimana bisa kau menemukanku disini?” tanya Seulgi terkejut.

“Kita harus bicara.” Jimin menggandeng lengan Seulgi, membawanya masuk ke dalam rumah. Meninggalkan Saeron dan Jungkook yang sejak tadi hanya menjadi penonton semakin bingung.

“Kau yakin mereka hanya berteman?”tanya Jungkook.

“Menurutmu?”

“Mereka bertengkar seperti kita.”

Sementara di dalam, Seulgi melepaskan genggaman tangan Jimin dan melipat kedua tangan di depan dada. Ia menatap Jimin masih kesal dan Jimin hanya bisa menghela napas panjang dan menunduk.

“Aku merasa bosan di rumah jadi aku datang kemari.”

“Aku mengerti. Tapi kau harus memberitahuku dulu jadi aku bisa mengantarmu.”

“Kenapa aku harus memintamu untuk mengantarku? Aku kan sudah bilang jika aku membencimu.”

“Seulgi…” Jimin menarik lengan Seulgi agar gadis itu menghadapnya. “Maafkau aku. Aku tidak bermaksud untuk meremehkanmu. Aku hanya khawatir kau akan terluka.”

“Kita berada di umur yang sama tapi kau selalu bersikap seolah-olah kau adalah kakak laki-lakiku. Apa kau pikir aku masih seperti anak kecil?”

“Tidak. Bukan seperti itu. Aku hanya…” Jimin mencoba menjelaskan kesalahannya sekali lagi. Namun begitu matanya bertemu dengan tatapan Seulgi yang sepertinya menunjukkan jika dia tidak akan menerima penjelasan apapun kecuali permintaan maaf, akhirnya ia menghela napas panjang. “Baiklah… ini salahku. Aku minta maaf. Maafkan aku, ya.”

Mengintip dari celah pintu, Jungkook tak bisa menahan rasa terkejutnya melihat sikap Jimin yang mendadak berubah jinak. Dia tidak menyangka jika kakak laki-laki Saeron itu bisa menundukkan kepalanya dan bicara dengan nada halus tanpa mengancam seperti itu. Dia bahkan meminta maaf pada seseorang.

Jungkook mendongak, menatap kepala Saeron yang ada di atasnya, “Mereka berkencan, kan?”

“Aku tidak tau.”bisik Saeron sambil menggeleng.

“Sudah jelas mereka berkencan. Jika tidak—”

“Ya!”

Saeron dan Jungkook mengembalikan tatapan mereka ke depan dan mendapati Jimin sudah berdiri di depan mereka. Pria itu menarik gagang pintu, membuka pintu semakin lebar membuat Jungkook dan Saeron terjerembap ke depan.

“Apa yang kalian lakukan?”

Jungkook dan Saeron saling pandang. Saeron menggigit bibir bawahnya mencari-cari alasan sementara Jungkook langsung tertawa keras, “Hahaha annyeonghaseo hyung-nim.” Anak laki-laki itu berdiri dan membungkukkan tubuhnya dalam-dalam. “Karena ini sudah sore sepertinya aku harus pulang ke rumah. Ayahku sedang mencariku. Kalau begitu selamat tinggal.”

Jungkook sudah akan kabur tapi Jimin lebih dulu menarik kerah bajunya, menahan langkah anak itu yang langsung mengatupkan kedua tangannya meminta maaf.

“Maafkan aku, hyung-nim. Aku tidak bermaksud menguping pembicaraan kalian. Tadi aku hanya—”

“Apa yang sedang kau lakukan?” Seulgi menarik lengan Jimin, melepaskan cengkramannya pada kerah baju Jungkook. “Jangan seperti itu.”

Yah, Seulgi noona memang yang terbaik. Dia adalah penyelamatku.

Jungkook tersenyum lebar karena Seulgi telah membelanya sementara Jimin memukul kepalanya pelan lalu duduk di lantai.

“Jungkook-ah, apa kau sudah makan?”

Jungkook menggeleng, memasan wajah selemah mungkin, “Belum dan sepertinya di rumahku tidak ada makanan yang bisa ku makan.”

“Ya! Kau kan pemilik cafe, kenapa kau tidak makan di cafe-mu?”sahut Jimin terdengar kesal.

“Saeronnie, aku akan membantumu memasak. Bagaimana jika kita makan bersama?”

Saeron terkekeh melihat ekspresi Jimin yang kesal karena tidak bisa membantah ucapan Seulgi. Gadis itu mengangguk, “Baiklah, unnie.”

***___***

Jungkook terlalu asik mengajari Saeron pelajaran bahasa Inggris hingga ia tidak menyadari jika hari sudah mulai gelap. Begitu juga Seulgi yang terlalu asik menatap layar ponsel Jimin, menonton drama baru.

Mereka lupa jika mereka masih memiliki masalah yang harus di selesaikan. Tentang Jin yang akan datang besok dan sesuatu yang harus di jelaskan pada tuan Jeon.

“Jadi itu adalah contoh kalimat past tense. Nanti, aku juga akan mengajarimu contoh kalimat lainnya.”

Saeron mengangguk, “Baiklah. Lalu haruskah aku mengajarkanmu matematika juga? Kau kan paling payah dalam pelajaran itu.”

“Apa maksudmu payah? Aku cukup pintar mengerjakan albajar.”

“Maksudmu aljabar?” Saeron membenarkan.

“Yah apapun namanya.”

Mendengar itu Seulgi langsung tertawa geli. Sementara Jimin hanya mencibir kebodohan Jungkook yang bahkan tidak tau istilah umum matematika dengan baik.

“Jeon Jungkook, kau disana?” Suara derap langkah seseorang menaiki anak-anak tangga tiba-tiba terdengar. “Jeon Jungkook?”

“Huh? Irene noona?” Irene muncul tak lama kemudian. Menghampiri Jungkook dengan wajah panik. “Ada apa? Kenapa wajah noona seperti itu?”

“Jeon Jungkook…” Irene menghentikan ucapannya sejenak. “Kau tidak boleh tinggal di rumah sewa ini lagi. Ahjussi menyuruhku untuk mengusirmu.”

TBC

Tinggalkan komentar